Tuesday, October 28, 2014

Bahasa Indonesia

Ya, bahasa Indonesia. Para pemuda Indonesia dulu menetapkannya sebagai bahasa persatuan. Tapi bahasa Indonesia menurut saya bukan hanya bahasa resmi yang diajarkan di sekolah-sekolah. Bahasa Jawa - mulai dari ngoko alus, kasar, sampai krama, bahasa Madura, bahasa Batak, singkatnya semua bahasa daerah di Indonesia pun juga layak disebut bahasa Indonesia. Bahasa ibu yang benar-benar lazim digunakan di antara anggota kebudayaan terkecil dari masyarakat setempat, yaitu keluarga.


Terkadang saya lupa betapa berharganya bahasa Indonesia. Sejak kecil saya tertarik belajar bahasa Inggris. Bahasa pergaulan, katanya. Bahasanya orang-orang pintar dan terdidik, bahasa yang digunakan negara-negara maju, bahasa yang harus digunakan agar tidak "ketinggalan jaman". Sebagai konsekuensinya, saya mulai belajar bahasa Inggris sejak di Sekolah Dasar, dan mengikuti beberapa kursus bahasa Inggris.


Lalu ada lagi bahasa Mandarin yang saya pelajari sebagai bagian dari kurikulum pelajaran Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Sebagai warga negara Indonesia keturunan Tionghoa, saya tidak pernah menggunakannya dalam percakapan sehari-hari di rumah. Para leluhur saya tiba di Indonesia beratus-ratus tahun yang lalu, dan seiring berjalan waktu mereka hidup di tengah masyarakat Indonesia, mempelajari cara hidup penduduk setempat, dan singkatnya, menjadi orang Indonesia. Memang, orang tua dan kakek nenek saya punya nama Tionghoa, tapi generasi saya sudah tidak lagi memiliki nama Tionghoa yang tercatat. Jadi, yah, agak sulit menjelaskan bagaimana seorang dengan casing Tionghoa seperti saya - mata sipit, kulit kuning langsat, rambut lurus- sebenarnya memiliki kepribadian orang Indonesia asli.


Kapan saya benar-benar menyayangi bahasa Indonesia?



Ketika masih tinggal di Indonesia, saya tahu bahwa Indonesia adalah bahasa sehari-hari, yang otomatis saja digunakan. Mulai bangun pagi, menyapa sesama penghuni kos, membeli cemilan di supermarket, bertemu teman di perjalanan, menelepon orangtua, sampai tidur di malam harinya. Terkadang saya menggunakan bahasa asing di twitter, membaca artikel berbahasa Inggris, menonton film yang juga berbahasa Inggris, dan saya merasa seakan selangkah lebih maju, hanya karena saya sedikit menggunakan bahasa asing.


Sekarang, setelah beberapa bulan tinggal di negara asing, timbullah rasa rindu itu. "You don't miss the water until the well runs dry", kalau kata seorang penyanyi favorit saya, Craig David, di salah satu lagu hitsnya. Bagaimanapun fasih bahasa asing saya (atau lebih tepatnya bagaimanapun cara saya mencoba menjadi se-fasih mungkin), tetap saja tidak ada yang menggantikan bahasa Indonesia. Begitu banyak ekspresi, guyonan, bahkan pisuhan atau makian yang tidak akan pernah digantikan oleh bahasa lainnya. Lucunya, beberapa kali saya tidak sengaja melontarkan kata "Duh.", atau "anu..." di tengah-tengah percakapan bahasa Inggris saya yang belepotan.


Mungkin banyak yang memuaskan kerinduan dengan tanah air ketika berkumpul bersama rekan-rekan PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) karena di situlah kita sering mencicipi masakan Indonesia buatan beberapa anggota. Tapi bagi saya, ketika bertemu sesama orang Indonesia, dan mulai menyapa dengan "Halo, gimana kabarnya?", mulai dari saat itulah saya menemukan bagian penting dari diri saya, sebuah ikatan dengan kampung halaman, bahasa yang akan selalu hadir di hati saya sampai kapanpun juga, Bahasa Indonesia.


Selamat hari Sumpah Pemuda :)


Nijmegen, 28 Oktober 2014

1 comment: